Senin, 15 Oktober 2012

sejarah novel

Sejarah dan Novel Sejarah

Karya sastra sebagai symbol verbal mempunyai tiga peranan utama, yaitu (1) sebagai cara pemahaman (mode  of comprehension), (2) cara perhubungan (mode of communication), (3) cara penciptaan (mode of creation). (Dalam karya sastra yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai bahan, ketiga peranan symbol itu dapat menjadi satu. Perbedaan masing-masing hanya dalam kadar campur tangan dan motivasi pengarangnya. Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat. Hal. 127-136.)


           Obyek karya sastra adalah realitas, apapun yang disebut realitas oleh pengarang. Novel sejarah adalah bentuk karya sastra yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai obyeknya. Dalam kaitan ini, novel sejarah dapat; pertama, menerjemahkan peristiwa sejarah dalam bahasa imaginer dengan maksud untuk memahami peristiwa itu menurut kadar kemampuan pengarang; kedua, novel sejarah dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai suatu peristiwa sejarah; dan ketiga, seperti juga karya sejarah, novel sejarah dapat meupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imaginasi pengarang.
            Sebagai contoh sebuah novel sejarah, adalah; Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Diperlihatkan bagaimana penggambaran tentang sejarah awal mula tumbuhnya kesadaran kebangsaan dalam masyarakat pribumi “Indonesia di bawah kekuasaan kolonial. Kurun waktu yang tercakup dalam karya ini berkisar sekitar menjelang akhir abad ke-19 sampai memasuki dekade kedua abad ke-20. Dalam tulisan-tulisan sejarah, kurun ini sering disebut sebagai kurun kebangkitan nasional.
           Perbedaan yang paling tegas antara sejarah dan novel sejarah terletak pada pertanggungjawabannya. Sejarah bermaksud menceritakan hal atau peristiwa sejarah yang sebenarnya terjadi. Sejarah mengemukakan gambaran tentang hal-hal sebagaimana adanya dan kejadian-kejadian yang sesungguhnya terjadi. Sejarah harus mengikuti prosedur tertentu; harus tertib dalam penempatan ruang dan waktu, harus konsisten dengan unsur-unsur lain sepeti topografi dan kronologi dan harus berdasarkan bukti-bukti.
            Berbeda dengan tulisan sejarah, cukuplah bagi sebuah novel sejarah bila berhasil mengungkapkan berupa gambaran yang koheren, yang dapat dipahami. Karya sastra tidak tunduk pada metoda-metoda tertentu. Demikian pula dalam penggunaan bahasa, tulisan sejarah dan novel sejarah berbeda. Sejarah lebih cenderung menggunakan referential syimbolism dengan merujuk secara lugas kepada obyek, pikiran, kejadian dan hubungan-hubungannya, sedangkan sastra lebih banyak mengandung pesan-pesan subyektif pengarang.
           Dalam peristilahan ilmu sejarah, peristiwa sejarah sering dicakup dalam istilah fakta sejarah. Peristiwa sejarah sebagai bahan baku diolah secara berbeda oleh tulisan sejarah dan oleh karya sastra. Dalam tulisan sejarah, bahan baku itu telah diproses melalui prosedur tertentu. Dari sumber-sumber sejarah sejarawan harus melakukan kritik, interpretasi, dan sintesis sampai ia sanggup menyuguhkan rekonstruksi sejarah. Sejarawan harus bertolak dan selalu kembali kepada fakta dalam usahanya untuk merangkai peristiwa sejarah menjadi kesatuan yang utuh. Dengan bahan-bahan itu sejarawan mencari system of interactions, yaitu hubungan antara fakta-fakta secara memadu.
            Karya sastra mempunyai pendekatan lain. Peristiwa sejarah dapat menjadi pangkal tolak bagi sebuah karya sastra, menjadi bahan baku, tetapi tidak perlu dipertanggungjawabkan terlebih dahulu. Peristiwa sejarah, situasi, kejadian, perbuatan, cukup diambil dari khazanah accepted history bagi hal-hal dari masa lampau atau dari common sense bagi peristiwa-peristiwa kontemporer. Prosedur kritik, interpretasi dan sintesis, tidak diperlukan oleh sastrawan.
            Apakah yang diperlukan bagi novel sejarah yang patut menyandang predikat ‘sejarah’? Novel sejarah tidak perlu menjadikan tokoh sejarah sebagai tokoh utamanya atau tokoh-tokoh sejarah sebagai tokoh-tokohnya. Hal ini bukan berarti bahwa novel sejarah tidak boleh menjadikan tokoh sejarah sebagai tokoh utamanya. Seperti tokoh utama dalam novel sejarah yang telah disebutkan di awal tulisan ini. Hanya saja tokoh yang hadir dalam novel sejarah dibentuk secara kuat oleh imaginasi si pengarang, bukan seperti tokoh yang dimunculkan dalam tulisan sejarah.
            Realitas sejarah muncul dalam novel sejarah, menurut George Lukacs, dapat dilihat melalui historical faithfulness, dan authenticity of local colour yang terdapat di dalamnya. Yang dimaksud dengan historical authenticity (keaslian sejarah) yaitu, “kualitas kehidupan batin, moralitas, heroisme, kemampuan untuk berkorban, keteguhan hati, dan sebagainya, yang khas untuk suatu zaman.”  Melukiskan secara benar semangat zaman (Zeitgeis) yang menjadi tugas sejarawan lewat penulisan sejarah yang aktual, menjadi tugas pula bagi penulis novel melalui lukisannya yang imaginer.
            Selanjutnya yang dimaksud dengan historical faithfulness (kesetian sejarah) ialah “keharusan-keharusan sejarah yang didasarkan pada basis sosial ekonomi masyarakat. Akhirnya dalam kemurnian local colour, yaitu deskripsi yang setia tentang keadaan-keadaan fisik, tata cara, peralatan, dan sebagainya, novel sejarah membantu memudahkan penghayatan sejarah. Dalam hubungan ini patut dicatat, kadang-kadang justru anakronisme sejarah diperlukan – Hegel menyebutnya necessary anachronisme. Ini terjadi jika kurun sejarah yang digarap dianggap sebagai periode pendahulu dari kurun penulisannya. Misalnya, bukankah kita selalu melihat pahlawan-pahlawan nasional kita sebagai nasionalis yang berjuang untuk melawan kolonialisme dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa?
            Karya sastra di satu sisi dibangun atas dasar fakta-fakta yang berkelebat dalam diri pengarang, dan menampilkannya ke permukaan sebagai sebuah fiksi. Pada sisi lain sejarah terkadang menyembunyikan kebenarannya. Dan anehnya banyak yang hanya berani menampilkannya lewat dunia fiksi. Hakikat sejarah pada umumnya adalah kenyataan, tetapi justru kenyataan itulah kadang yang sering dimanipulasi hingga menimbulkan berbagai versi dan terlihat kontroversi. Akhirnya, sejarah akan tergiring dalam ranah subjektif sebagai sebuah kenyataan objektif.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;